31.12.11

Bahwa Sempurna Memang Tak pernah Ada

BUKAN HANYA TENTANG AKU, DIA, DAN KAMU
SEMPURNA kiranya tak pernah ada. Demikian keyakinan saya sejak sekitar tahun 1984, ketika usia ini hendak memasuki ke-22, yang bertolak dari hikmah belajar menjadi penulis berita surat kabar harian.

Tentu saja, sebagai penulis berita, tetap harus memperhatikan “pakem” sebuah tulisan, untuk bisa dikatakan sebagai berita, artikel atau pendapat.

Tetapi, seringkali penulis merasa kurang sempurna atas karyanya. Setiap berkesempatan membaca ulang, selalu saja ada koreksi, sekalipun sebuah karya tulis sudah berada pada “pakem”-nya.

Oleh sebab itu, bahkan, suatu karya tulis tidak akan pernah selesai, bila si penulis menuntut kesempurnaan dalam karyanya, meskipun disadari terpenting dalam setiap tulisan adalah Gol-nya — pesan sudah tersampaikan.

Di sini, saya kemudian menyadari, bahwa sempurna itu memang tak pernah ada. Hikmah ini saya peroleh ketika saya belajar menulis untuk surat kabar harian.

Di surat kabar harian, setiap penulisann suatu gagasan, ditimbang sedemikian rupa, disesuaikan dengan bobot, ruang (halaman media) dan waktu — jadwal terbit surat kabar itu sendiri.

Bahkan, seringkali suatu tulisan di surat kabar harian dipenggal begitu saja pada alinea terakhir atau malah beberapa alinea dari bawah. Bukan lantaran tulisan nglantur, tapi seringkali terdesak oleh iklan — sumber energi Surat Kabar.

Malah penulis berpengalaman, sebelum memegang papan ketik, seringkali bertanya dulu kepada seorang layout, “aku diberi ruang berapa alinea…”. Ini terutama ketika setelah diperhitungkan bobot beritanya penting, sementara jadwal cetak telah diambang start.

Saya juga punya pengalaman tak terlupakan hingga kini. Sekitar tahun 1986/1987 empat bulan setelah Pangkokamtib Sudomo berkebijaksanaan menarik DLLAJR dari jalan raya, akibat maraknya pungli, saya mengajukan untuk melakukan investivigasi dampak dari kebijaksanaan tersebut.

Saat itu Saya numpang truk gandeng dari Surabaya – Jakarta melalui jalur selatan (Yogyakarta). Hasil nya, saya buat laporan perjalanan sebanyak 6 lembar folio, yang kemudian diturunkan di Surat Kabar (Surabaya Post) menjadi dua tulisan bersambung pada halaman depan.

Hingga hari ketiga laporan tersebut tidak ada komplain luar maupun dari dalam,kecuali dari saya sendiri. Saya merasa janggal membacanya. Pokok permasalahan, tulisan 6 lembar itu saya serahkan hanya di jepit (clip) bukan di staples. Entah karena apa, di meja setting clip terlepas. Urutan lembar satu hingga ke-6 pun menjadi tak keruan.

Tetapi setelah komplain, esok harinya tulisan itu menempel di ruang pengumuman wartawan. Saya kaget. Ternyata setelah saya dekati, pada sisi kanan ada komentar dari penanggung jawab halaman, “ Contoh tulisan baik, sekalipun morat-marit tetap nyambung dan masih enak dibaca”.

Pengalaman itu makin memantapkan temuan saya, atas keyakinan bahwa sempurna tidak pernah ada. Hanya sebuah harapan — yang lebih didominasi oleh ego seseorang.

ANTARA AKU, DIA, DAN KAMU
Pemahaman saya tentang sempurna itu tidak pernah ada, kemudian saya lebarkan dalam menilai diri manusia. Renungan ini menguat ketika Saya hendak menikah di akhir 1989, dengan seseorang yang kini menjadi ibu dari ketiga putra-putriku.

Dalam perjalanan rumah tanggapun, keyakinan bahwa sempurna itu tidak pernah ada, kadang juga mewarnai pikiran, terutama ketika muncul permasalahan — yang syukur kemudian juga menjadi lebih baik, karena juga keyakinan tersebut.

Yang pasti Gol-nya sebagai anak manusia: aku sudah menikah titik. Tak perlu menikah lagi — menikah lagi dan menikah lagi, hanya mengejar kesempurnaan yang tak pernah ada, kecuali setelah kita mati!!.

Bahkan, kini “keyakinan bahwa sempurna tak pernah ada” telah menjalar ke semua persepsi, termasuk produk barang dan jasa. Semuanya baik. Semuanya juga tidak sempurna, sebagaimana aku, dia, dan kamu. (Priono)
Selengkapnya..

13.3.11

Anggota Dewan PKS Gorontalo Diberhentikan dengan Tidak Hormat

Anggota DPRD Kota Gorontalo dari Partai Keadilan Sejahtera, Darmawan Duming, diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya karena tertangkap tangan sedang berjudi. ...(www.tempointeraktif.com).

Mestinya para pejudi protes, kalau wakilnya di dewan dikeluarkan gara-gara mempertahankan profesi. Bukankah anggota dewan tersebut dulu dipilih karena memang mewakili kelompok masyarakat pejudi (komentar-asal-komentar)
Selengkapnya..

6.8.10

Rumah aspirasi = Politisi Ketinggalan teknologi

Politisi pendukung program `rumah aspirasi, tampak tertinggal dalam pemahaman dan pendayaguaan teknologi informasi atau sengaja mengeruk uang rakyat. Demikian kesimpulan atas program pembangunan`rumah aspirasi," yang mengeruk anggaran sebesar Rp122 miliar.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Rumah Tangga DPR Pius Lustrilanang mengatakan, pihaknya akan mendorong pendirian "rumah aspirasi" untuk 560 anggota DPR dengan total anggaran sebesar Rp122 miliar atau Rp200 juta per anggota DPR.

Apapun alasannya penyelenggaraan program `rumah aspirasi” adalah tidak tepat.

Kalau memang terpaksa harus diperlukan, `rumah aspirasi” itu bisa diwujudkan dalam bentuk online. Banyak ragamnya. Bahkan fasilitas gratis, banyak pilihan. Ini sisi lain dunia maya, yang bukan hanya berisikan situs porno.

Antara lain versi WebLog. Bisa SMS. Apalagi kini mbah Bejo dan Mbok Minah tak asing lagi dengan handphone. Setidaknya gampang berkomunikasi dengan anak-anaknya yang menggali devisa di Malaysia, sebagai pembantu rumah tangga.

Itulah potret sebagian rakyat Indonesia di pinggiran nun jauh disana. Ingin menghubungi anak-anaknya di negeri orang, cukup dari dari tengah sawah, dengan telpon genggamnya.

Maka, adalah ironis untuk menyampaikan keluhan sebagai warga Negara harus pergi naik truk datang ke “rumah aspirasi”. Sulitnya.

Maka untuk menjawab kebutuhan itu, anggota dewan harus mengikuti perkembagan teknologi informasi. Bukan sebatas Facebook. Tapi, mendayagunakan kelebihan yang ada.

Kalau tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi, pakai saja tenaga lulusan SMK (sederajat SMA). Umumnya mereka sudah memahami dan mampu mendayagunakanya.

Ini sekaligus memberi kesempatan kerja bagi lulusan SMK, yang notabene sebagian besar tak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, lantaran biaya yang tak terjangkau

CARA PRODUKTIF
Tapi kalau memang tujuannya mengeruk uang rakyat, disarankan menggunakan cara yang elegan. Jangan kasar seperti ini.

Bahkan cara yang produktif masih bisa digunakan dalam rangka memupuk kekayaan. Di antaranya kerjasama dengan rakyat dalam penertaan modal. Misalnya persewaan traktor tangan, atau bidang usaha lain.

Ternak itik, ternak kambing, ternak sapi dengan cara bagi hasil oleh rakyat. Masih berpeluang besar, mengingat produk telur dan daging nilai impornya masih tinggi.

Selengkapnya..

4.3.10

Gila + Kaya + Kuasa = Bahaya

ADALAH riil, siapapun lebih baik mengalah atau menghindari, jika berhadapan dengan sosok yang berpendirian - berperilaku - berkarakter tak lazim, Gila. Apalagi orang tersebut kaya (Gila+Kaya). Lebih serius lagi, plus berkuasa. Artinya tiga predikat melekat menjadi satu (Gila+Kaya+Kuasa). Bahkan, berselisih dengan sosok demikian, meminjam istilah agama, apapun, pasti hukumnya wajib. Wajib untuk tidak melawan, wajib untuk tidak meladeni, ketimbang tertular menjadi gila. Sementara kaya dan punya kuasa, belum tentu.


Tak mudah, memang, mengetahui secara jelas perbedaan Gila dan Waras. Batasannya demikian tipis. Bahkan ada kalanya, sosok berpakaian tdk keruan, yang malah sering diketegorikan sebagai sampah masyarakat, ternyata ia masih memiliki keputusan bijak. Ia rela berbagi makanan dengan si Anjing, yang jalannya sempoyongan, kelaparan.

Memang, sering kali logika kita tertipu, hanya berpegang pada yang tampak dari luar, yang hanya terlihat kasat mata. Bukan hanya itu, tak jarang pula, suatu asumsi menjadi tersesat oleh beragam pendapat, oleh perjuangan-perjuangannya, yang notabene demi orang lain. Demi bangsa dan sebagainya. Kenyataannya, di belakang pangsung sang lakon justru berperan melenceng jauh dari ungkapannya, dari gerakannya.

Karakter-karakter seperti itu ada disekitar kita. Ada didesa kita. Ada di kota kota. Ada di provinsi kita, ada di negara kita, dan ada di mana pun. Tak sulit untuk ditemukan. Ada yang berlagu sebagai petani tebu, yang memperjuangkan hak sesama. Prakteknya ber hektar lahan tebu telah berada dalam genggamannya. Petani penggarap pun tak kuasa menolak untuk berdemo, seolah sebagai petani, yang menuntut proteksi atas harga gula.


Ada juga sosok politikus nasional yang setiap berorasi ketika berkampanye demikian menyejukkan. Menggugah emosi rakyat untuk menentang pemerintah. Di banyak kota berhasil meraih suara. Tetapi, justru di desa kelahirannya, ia terjungkal. Tidak ada tetangga yang mencoblos namanya. Ini riil adanya.

Hal itu terjadi lantaran para tetangga, juga warga desa yang telah mengenalnya lebih berbudi. Penilaiannya lebih bersandarkan pada rasa. Meski logikanya memahami putra dari desanya, sosok yang pintar, sosok yang pandai, dan sosok yang membuat desanya terkenal, tetapi mereka tetap menilainya sebagai sosok yang kurang waras. Orasinya di TV, pendapatnya di surat kabar, dirasakan berseberangan dengan kelakuan keseharian, yang tentu, tak layak untuk diladeni. Apalagi didukung, untuk duduk di singgasana.

Memang, ber-logika, dalam kasus sosial, tak selamanya selalu berujung pada hasil sebagaimana kehendak umum. Demikian pula menghadapi bawahan, atasan, rekan bisnis, pengurus kampung, birokrat di tingkat kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, dan negara.

Bahkan, lebih rumit lagi ketika hendak memilih suatu pimpinan, apapun, untuk menduduki sebuah takhta, kita mesti mengatahui xyz-nya. Sebab apapun pilihan kita, sang pemilih harus turut bertanggung jawab. Apalagi, yang kita pilih, sosok yang Gila, kemudian Kaya, dan menjadi Penguasa. Bahaya. (priono subardan)
Selengkapnya..

11.6.08

Pemerintah Wajib Punya FPI, AKKBB, Ahmadiyah

PEMERINTAH RI masih sangat wajib mempunyai organisasi XYZ semacam FPI, AKKBB, dan Ahmadiyah. Ini terutama ketika pemerintah belum mengetahui persis porsi keberpihakan beragam media terhadap kepentingan bangsa dan negara. Demikian sekilas pemikiran terkait makin maraknya pro kontra terhadap keberadaan FPI, AKKBB, maupun Ahmadiyah.

Mengetahui keberpihakan beragam media terhadap kepentingan bangsa dan negara adalah lebih penting daripada sekadar kekuasaan untuk melakukan pembreidelan hak cetak, pembreidelan hak tayang, pembreidelan hak siaran atau pemblokiran suatu situs/web.

Kecurigaan terhadap keberpihakan mayoritas media, tentu sebagai kebijaksanaan yang wajar. Hal itu tak lepas dari kehandalan suatu media dalam membangun opini, ditengah kondisi masyarakat yang secara ekonomi belum mapan.

Apalagi di pedesaan. Ketahanan ekonomi-nya masih rawan. Maka hingga kini masih menggiurkan bekerja sebagai TKI di Malaysia, walau statusnya Pembantu Rumah Tangga (PRT). Bisa mengantongi Rp 1,6 juta per bulan, hampir sama dengan gaji Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur Yogjakarta, sebesar Rp 1,8 juta.

Disisi lain, tidak ada yang dapat memberikan kepastian, bahwa pers atau media, dewasa ini tidak terletak di antara bisnis, ideologi dan bisnis ideologi. Malah, memprihatinkan pula bila hal yang sama juga hinggap didunia LSM.

KASUS SAMA
Kenyataan itu kiranya juga bukan hal yang mengherankan, bila bertolak dari posisi Indonesia, yang secara kodrat menjadi wilayah perebutan pengaruh blok Timur dan Barat. Baik disisi ekonomi maupun politik.

Posisi ini juga berlaku bagi Thailand, Vietnam, Malaysia, Filina dan banyak negara negara berkembang lainnya. Maka, disadari atau tidak, gejolak yang terjadi di negara-negara ini, apapun kasusnya atau siapapun tokoh yang menjadi sasaran tembaknya, selalu berawal pada isu yang sama, keadilan dan demokrasi.

Kondisi demikian ini menjadikan negara-negara itu sulit untuk mewujudkan stabilitas secara umum. Apalagi Indonesia, yang kepulauan, yang ketahanan ekonomi-nya masih diwarnai BLT, masih ada yang mengkonsumsi nasi aking.

Bahkan, stabilitas yang berjangka pun akan sangat berat diwujudkan, bila pemerintah hanya mengandalkan institusi TNI dan Polisi.

Lembaga pertahanan dan perlindungan rakyat itu bukannya tidak mampu menghalau gerakan sparatis atau apapun istilahnya. Tapi, tembok HAM terlalu tebal untuk TNI dan Polisi, untuk mampu melewatinya.

Oleh sebab itu, Pemerintah wajib memiliki media. Bukan hanya kantor Berita Antara, yang kini juga mulai berkomersil. Pemerintah perlu memiliki organisasi semacam FPI, AKKBB, atau Ahmadiyah. Tentu berbasis keagamaan dan nasionalis. Bukan lagi PKI, yang sudah terlalu lama dan senantiasa disosialisasikan sebagai bahaya laten. Sudah tidak update lagi.

Bahkan, penguasa dunia juga berkemungkinan memiliki organisasi semacam ini. Yang mampu bergerak sesuai skenarionya. Yang mampu menumbuhkan permintaan pasar atas produknya. Yang mampu memenangkan tender atas industrinya, termasuk industri senjata.

Tentu saja hubungan pemerintah dan organisasi XYZ atau YXZ atau ZXY, (yang penting masih gabungan X,Y dan Z), tidak dapat dimunculkan secara transparan. Terbatas pada secuil elit, agar massa umum dan massa pendukung tak pernah memahaminya.

Lebih efisien lagi, tanpa harus mendirikan. Setidaknya hanya tidak melarang kebebasan, sebagaimana yang dijual oleh Barat. Persoalan biaya operasional bukan menjadi soal. Kenyataannya memang lebih sulit menjadi TKI legal.

Terpenting, mampu memberi manfaat bagi bangsa dan negara. Dapat dikendalikan. Mampu membatasi ruang geraknya. Mampu membendung gerakan yang dilakukan gerakan lainnya, yang merugikan stabilitas.

Kalau di antara organisasi dimaksud gerakannya sudah melenceng dan membahayakan kepentingan bangsa dan negara, pemerintah harus menurunkan organisasi tanpa bentuk untuk membasminya.

Kendati demikian, aktifitas demo yang memang sulit untuk dihindari, pemerintah tetap mengijinkannya. Setidaknya dapat diterima sebagai masukan dari rakyat yang peduli, disamping suara dewan. Meskipun atas nama rakyat yang disuarakan oleh keduanya juga perlu dikaji, sebagai rakyat yang mana?

JAMINAN
Terkecuali pemerintah telah mendapatkan jaminan, bahwa beragam Media di Indonesia, posisinya terletak di antara Bisnis dan Ideologi Indonesia sendiri, tentu pemerintah tak perlu repot membuat alasan atas diijinkannya berdiri organisasi dimaksud. TNI dan Polisi sudah sangat cukup. Tetapi apa mungkin?

Namun, beban Pemerintah kini kiranya memang bukan lagi seperti dulu dalam membendung opini liar. Terutama setelah berkembangnya medianet.

Kini telah mudah ditemukan, blog-blog nasionalis, baik yang ber domain wordpress.com; blogspot.com; Opera.com; multiply.com; atau friendter.com.

Memang warna dari blog Indonesia, masih banyak yang pertamax daripada premium. Tapi, itu hal yang wajar.

Sayangnya, biaya untuk online masih mahal. Beruntung ada Indosat, yang meski sudah dimiliki oleh asing, masih memberikan kemurahan tarif lebih baik ketimbang Telkom, yang milik perusahaan nasional. (priono Subardan)
Selengkapnya..